13ahar anakbatak yang ingin mengenal dan berbagi kepada dunia

lagu anak batak kali ini

Minggu, 28 Februari 2010

Semua Sumpah Serapah Yang Pernah Terucapkan Umat Manusia Kupersembahkan Untuk Yang Namanya PERPISAHAN

Ga' mungkin juga memang untuk aku cegah. Toh, dia udah mantap ambil tuh keputusan. Paling ga' dia udah dewasalah, udah bisa milih mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Selamat jalan Cerewet. Pastilah aku rindukan omelanmu. Aksen lucumu untuk minta bantuanku. Fiuh, udah kecil mungil, cerewet pula lagi.

Sehat ada karna sakit juga ada. Hidup ada karna mati juga ada. Ya udah pasti jugalah perpisahan ada karna perjumpaan juga ada. Aku masih sadar 'kan tuh? Tapi entah kenapa malas aja untuk ngejalaninya. Ibaratnya nih, Sob; kalaulah dari awal-awal nih aku tau suatu saat nanti bakalan berpisah, mending ga' usah jumpa sama sekali deh. Ga' usah dekat ga' usah akrab. Ga' usah ngobrol-ngobrol ga' usah ada yang namanya ketawa-ketiwi. Atau paling ga'lah; suatu saat nih kita dipindahin tempat kerjanya dan otomatis 'kan ga' ketemu lagi ma kawan-kawan, tapi ga' ada terucap perpisahan, ga' ada terencana untuk berpisah. Jadi biasa-biasa aja gitu. Ada rasa, ah paling juga besok-besok bisa ketemu lagi.

Tapi ini udah direncanai gitu, Sob. Dan perasaan aku bilang ga' bakalan ketemu lagi ma tuh anak. Ga' ada maksud ngedahuluin Dia. Cuman, yakin aja gitu. Memang sih aku ga' akrab-akrab amat ma tuh anak. Dan paling juga 2-3 hari merasa kehilangannya, terus normal lagi balik. Tapi entah kenapa perasaan itu ngeganjal aja.

Saat-saat keik gini nih, aku selalu ingat lagu lamanya Kaisar yang Perpisahan. Pernah denger ga'? Gila abis memang tu lagu. Pas abis mewakili yang namanya momen perpisahan. Seengga'nya yang aku ingat liriknya keik gini, Sob:

Sore itu langit berubah gelap semua membisu
lagu-lagu telah siap mengiringi perpisahan
mobil terparkir mesin pun menjadi dingin

kau dia dan mereka tertutup remang tiada tahu
aku terisak membawakan lagu itu
bukan karna membludaknya asap rokok dan keangkuhannya

datangnya keakraban disimpang perpisahan
disaat mata terbendung dan terjadi hujan
menambah berat kata 'tuk berpisah
berat ucap sampai jumpa
namun semua itu kejadian yang wajar

senyumlah tiada pernah 'kan terulang
hanya terlintas khayalan
namun semua itu kejadian yang wajar

berpeganglah hangat disaat kau fikirkan
kau fikirkan kebencian
berpeluklah dan saling berpeluklah
diatas bahu untuk... perpisahan

datangnya keakraban disimpang perpisahan
disaat mata terbendung dan terjadi hujan
diantara kita hanya merasakan keakraban sampai berpisah
kau katakan jangan lupakan
jangan lupakan aku

esoknya semua itu pun harus terjadi
udara t'lah bersih baju t'lah segar siap memori
dinding pun membisu
dan semua siap berlalu


Jalani sajalah. Toh, ini bukan akhir dari segalanya. Hanya secuil. Dan bukan yang terakhir. Semoga kau tak bosan Sobat bila esok kembali ku mengeluh akan perpisahan. Karna tak mungkin jua kita terus bersama. Karna tak mungkin jua kuteruskan lagi tulisan ini. Selamat jalan Cerewet. Selamat jalan EINA.


Kamis, 25 Februari 2010

. . . .

Ga' tau kenapa, pengen aja rasanya ngeposting. Secara dah lama ga'. Eh, sekalinya mau ngeposting malah buntu. Planning sih banyak, tapi masih ngegantung semua. Malahan ada sebagian masih judulnya doank tanpa isi. Yaudah deh jadi aja ngeposting tentang stres. Mungkin itu aku kini. Mungkin itu kau kini. Ni postingan aku ambil disini; http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/stres.html. Nikmatilah.

Stres PDF Print E-mail
Written by Reina Wangsadjaja, S, Psi

Seringkali stres didefinisikan dengan hanya melihat dari stimulus atau respon yang dialami seseorang. Definisi stres dari stimulus terfokus pada kejadian di lingkungan seperti misalnya bencana alam, kondisi berbahaya, penyakit, atau berhenti dari kerja. Definisi ini menyangkut asumsi bahwa situasi demikian memang sangat menekan tapi tidak memperhatikan perbedaan individual dalam mengevaluasi kejadian. Sedangkan definisi stres dari respon mengacu pada keadaan stres, reaksi seseorang terhadap stres, atau berada dalam keadaan di bawah stres (Lazarus & Folkman, 1984).

Definisi stres dengan hanya melihat dari stimulus yang dialami seseorang, memiliki keterbatasan karena tidak memperhatikan adanya perbedaan individual yang mempengaruhi asumsi mengenai stresor. Sedangkan jika stres didefinisikan dari respon, maka tidak ada cara yang sistematis untuk mengenali mana yang akan jadi stresor dan mana yang tidak. Untuk mengenalinya, perlu dilihat terlebih dahulu reaksi yang terjadi. Selain itu, banyak respon dapat mengindikasikan stres psikologis yang padahal sebenarnya bukan merupakan stres psikologis. Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa respon tidak dapat secara reliabel dinilai sebagai reaksi stres psikologis tanpa adanya referensi dari stimulus (Lazarus & Folkman, 1984).

Singkatnya, semua pendekatan stimulus-respon mengacu pada pertanyaan krusial mengenai stimulus yang menghasilkan respon stres tertentu dan respon yang mengindikasikan stresor tertentu. Yang mendefinisikan stres adalah hubungan stimulus-respon yang diobservasi, bukan stimulus atau respon. Stimulus merupakan suatu stresor bila stimulus tersebut menghasilkan respon yang penuh tekanan, dan respon dikatakan penuh tekanan bila respon tersebut dihasilkan oleh tuntutan, deraan, ancaman atau beban. Oleh karena itu, stres merupakan hubungan antara individu dengan lingkungan yang oleh individu dinilai membebani atau melebihi kekuatannya dan mengancam kesehatannya (Lazarus & Folkman, 1984).

Proses Pengalaman Stres
Stres merupakan persepsi yang dinilai seseorang dari sebuah situasi atau peristiwa. Sebuah situasi yang sama dapat dinilai positif, netral atau negatif oleh orang yang berbeda. Penilaian ini bersifat subjektif pada setiap orang. Oleh karena itu, seseorang dapat merasa lebih stres daripada yang lainnya walaupun mengalami kejadian yang sama. Selain itu, semakin banyak kejadian yang dinilai sebagai stresoroleh seseorang, maka semakin besar kemungkinan seseorang mengalami stres yang lebih berat.

Perbedaan tingkat perkembangan antara anak-anak dengan orang dewasa tidak membuat perbedaan besar dalam hal pembentukan persepsi manusia. Teori appraisal dari Lazarus sudah diaplikasikan dalam penelitian terhadap anak. Salah satu penelitian yang dimaksud adalah penelitian oleh Johnson dan Bradlyn (dalam Wolchik & Sandler, 1997), yang ditujukan untuk meneliti appraisal positif dan negatif terhadap suatu peristiwa serta seberapa besar pengaruh peristiwa tersebut terhadap seorang anak.

Menurut Lazarus (1991) dalam melakukan penilaian tersebut ada dua tahap yang harus dilalui, yaitu :

1. Primary appraisal
Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari suatu peristiwa yang dialami individu. Peristiwa tersebut dapat dipersepsikan positif, netral, atau negatif oleh individu. Peristiwa yang dinilai negatif kemudian dicari kemungkinan adanya harm, threat, atau challenge. Harm adalah penilaian mengenai bahaya yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Threat adalah penilaian mengenai kemungkinan buruk atau ancaman yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Challenge merupakan tantangan akan kesanggupan untuk mengatasi dan mendapatkan keuntungan dari peristiwa yang terjadi (Lazarus dalam Taylor, 1991). Pentingnya primary appraisal digambarkan dalam suatu studi klasik mengenai stres oleh Speisman, Lazarus, Mordkoff, dan Davidson (dalam Taylor, 1991). Studi ini menunjukkan bahwa stres bergantung pada bagaimana seseorang menilai suatu peristiwa.

Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

  1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang dimiliki seseorang, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang terjadi dengan tujuan personalnya.
  2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak, dan apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence.
  3. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada berbagai macam aspek dari identitas ego atau komitmen seseorang.

2. Secondary appraisal

Secondary appraisal merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi.
Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

  1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu.
  2. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen pribadinya.
  3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi lebih baik atau buruk.

Pengalaman subjektif akan stres merupakan keseimbangan antara primary dan secondary appraisal. Ketika harm dan threat yang ada cukup besar, sedangkan kemampuan untuk melakukan coping tidak memadai, stres yang besar akan dirasakan oleh individu. Sebaliknya, ketika kemampuan coping besar, stres dapat diminimalkan.

Respon Stres
Taylor (1991) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:

    1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
    2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
    3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.
    4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

COPING STRES
Proses Coping Stres
Stres yang muncul pada anak akan membuat anak melakukan suatu coping (Mu’tadin, 2002). Coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Coping yang dilakukan ini berbeda dengan perilaku adaptif otomatis, karena coping membutuhkan suatu usaha, yang mana hal tersebut akan menjadi perilaku otomatis lewat proses belajar. Coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun coping bukan merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai. Maka, coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Lazarus & Folkman, 1984).

Menurut Lazarus & Folkman (1984), dalam melakukan coping, ada dua strategi yang dibedakan menjadi :

1. Problem-focused coping
Problem-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.

2. Emotion-focused coping.
Emotion-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.

Individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol (Lazarus & Folkman, 1984). Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu (Taylor, 1991). Para peneliti menemukan bahwa penggunaan strategi emotion focused coping oleh anak-anak secara umum meningkat seiring bertambahnya usia mereka (Band & Weisz, Compas et al., dalam Wolchik & Sandler, 1997).

Suatu studi dilakukan oleh Folkman et al. (dalam Taylor, 1991) mengenai kemungkinan variasi dari kedua strategi terdahulu, yaitu problem-focused coping dan emotion focused coping. Hasil studi tersebut menunjukkan adanya delapan strategi coping yang muncul, yaitu :

Problem-focused coping

    1. Confrontative coping; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.
    2. Seeking social support; yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
    3. Planful problem solving; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.

Emotion focused coping

    1. Self-control; usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.
    2. Distancing; usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon.
    3. Positive reappraisal; usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.
    4. Accepting responsibility; usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.
    5. Escape/avoidance; usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.

Coping Outcome
Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan, coping yang efektif adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, Cohen dan Lazarus (dalam Taylor, 1991) mengemukakan, agar coping dilakukan dengan efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas coping yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu :

  1. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk memperbaikinya
  2. Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif.
  3. Mempertahankan gambaran diri yang positif.
  4. Mempertahankan keseimbangan emosional.
  5. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.

Menurut Taylor (1991), efektivitas coping tergantung dari keberhasilan pemenuhan coping task. Individu tidak harus memenuhi semua coping task untuk dinyatakan berhasil melakukan coping dengan baik. Setelah coping dapat memenuhi sebagian atau semua fungsi tugas tersebut, maka dapat terlihat bagaimana coping outcome yang dialami tiap individu. Coping outcome adalah kriteria hasil coping untuk menentukan keberhasilan coping. Coping outcome, yaitu :

  1. Ukuran fungsi fisiologis, yaitu coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat mengurangi indikator dan arousal stres seperti menurunnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
  2. Apakah individu dapat kembali pada keadaan seperti sebelum ia mengalami stres, dan seberapa cepat ia dapat kembali. Coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat membawa individu kembali pada keadaan seperti sebelum individu mengalami stres.
  3. Efektivitas dalam mengurangi psychological distress. Coping dinyatakan berhasil jika coping tersebut dapat mengurangi rasa cemas dan depresi pada individu.